Tampilkan postingan dengan label hukum progresif. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hukum progresif. Tampilkan semua postingan

Selasa, 12 Agustus 2008

Undang undang KKR

Keterangan Ahli: Undang-Undang KKR Banyak Cacat

05,07,2006 - Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, UU KKR, dinilai banyak cacat oleh para ahli. Bahkan KKR dinilai gagal memenuhi kewajiban negara untuk menghormati hak-hak korban, keluarga dan masyarakat berdasarkan hukum internasional.

Sidang judicial review UU No 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) kembali digelar di Mahkamah Konstitusi.

Persidangan pada Selasa (4/7) tersebut menghadirkan 3 orang ahli dan satu saksi dari pihak pemohon.

Undang-undang yang menurut Menhukham pada persidangan sebelumnya sebagai amanat dari Pasal 47 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM tersebut, oleh para ahli justru dinilai banyak cacatnya. Kuasa hukum pemohon, Taufik Basri, menghadirkan ahli untuk menjelaskan bagaimana pandangan mereka terkait judicial review pasal 27, 44 dan pasal 1 ayat (9) UU KKR.

Dalam keterangannya sebagai ahli, Prof Douglass Cassel menilai bahwa saat ini KKR gagal memenuhi kewajiban negara untuk menghormati hak-hak korban, keluarga dan masyarakat berdasarkan hukum HAM internasional. Guru besar ilmu hukum dari Notre Dame University ini berpendapat KKR gagal dalam investigasi dan mengungkap kebenaran mengenai kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan sebelum 2000, memberikan reparasi pada korban dan keluarganya, dan gagal pula dalam menuntut dan menghukum pelaku kejahatan.

Menurut Douglass, Indonesia mempunyai kewajiban sebagaimana dalam United Nation Charter pasal 55 dan 56 yang tidak sebatas pada Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation for Gross Violation of International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB Pada 16

Desember 2005. Kewajiban Indonesia, menurut mantan penasehat hukum untuk KKR di PBB awal tahun 1990 tersebut, bertambah mengingat Indonesia adalah anggota Dewan HAM PBB.

Dalam pemenuhan hak-hak korban, Indonesia juga terikat dengan berbagai ketentuan international seperti Deklarasi HAM PBB (khususnya pasal 8), International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), serta berbagai ketentuan lain seperti konvensi anti penyikasaan, anti diskriminasi, dan hak-hak anak. Pemberian hak-hak korban sendiri menurutnya merupakan kewajiban negara. "Bukan kewajiban pemerintah, tapi seluruh cabang dari negara," tandasnya.

Investigasi dalam rangka pengungkapan kejahatan HAM berat harus memenuhi standar dengan tidak hanya dilakukan terhadap pelakunya, tetapi juga terhadap posisi teratas yang memberi perintah yang tindakannya masih diketahui oleh pemberi perintah. Inisiatif untuk hal tersebut menurutnya seharusnya berasal dari negara dan merupakan kewajiban yang berkesinambungan meskipun terhadap kasus-kasus yang lama.

Lebih lanjut, Douglass mengkritik ketentuan Pasal 24 UU KKR, di mana KKR wajib memberi keputusan dalam jangka waktu paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan.

"Pembatasan 90 hari terlalu singkat untuk (pengungkapan) genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan," cetusnya.

Pendapat tersebut diamini oleh ahli lain Direktur Trantitional Justice KKR Afrika Selatan, Prof. Paul Van Zyl. "Berdasar pengalaman KKR di Afrika, butuh waktu 9 - 24 bulan," tandasnya.

Terkait berlakunya pasal 27 UU KKR di mana kompensasi dan rehabilitasi terhadap korban diberikan hanya bila permintaan amnesti diberikan, maka menurut Prof. Douglas, rehabilitasi dan kompensasi bisa tidak diberikan ketika pelaku tidak teridentifikasi, atau tidak berhasil mendapat amnesty, atau tidak dimaafkan oleh korban, maupun ketika pelaku tidak diberi amnesti oleh Presiden dan DPR.

Selain itu, dipaparkan juga oleh Prof Douglass bahwa kegagalan KKR karena tidak ada kejelasan kapan restitusi diberikan sebagaimana ketentuan pasal 21 ayat (1) UU KKR dimana kompensasi dan rehabilitasi dapat ditunda selama tiga tahun meski tidak ada biaya yang signifikan untuk itu.

Selain itu juga tidak ada ketentuan yang dibuat sebagai parameter kepuasan dan mengenai jaminan tidak adanya pengulangan kejahatan.

Pemberian reparasi sendiri oleh Prof Paul dinilai terlalu sempit kategorinya. "Concern tentang reparasi ini terlalu sempit, dan memberikan reparasi kepada korban yang kategorinya sempit," jelasnya.

Menanggapi kebolehan diberikannya amnesti sebagaimana diatur di UU KKR, Prof Douglass menjelaskan bahwa berdasarkan hukum internasional, tidak semua kejahatan dapat diberikan amnesti, tetapi ada batasan untuk itu.

"Praktek di PBB tidak bisa memberi amnesti untuk (pelaku) genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan karena ini termasuk kejahatan berat terhadap HAM," jelasnya.

Pendapat tersebut dipertegas oleh ahli lain Rudi Rizki. Hakim adhoc pengadilan HAM tersebut mengingatkan bahwa berdasarkan UU No 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, maka tidak ada kadaluarsa untuk genosida.

Lebih jauh, Prof Paul menilai bahwa pemberian amnesti merupakan pelanggaran pasal 6 ICCPR. Prof. Paul juga mengungkapkan bahwa bila dibandingkan dari 30 negara yang mempunyai KKR, maka satu-satunya KKR yang berwenang memberikan amnesti adalah KKR di Afrika Selatan. "Itu merupakan pengecualian, bukan rule," tandasnya.

Lebih lanjut, mantan excecutive secretary KKR Afrika Selatan tersebut menceritakan bahwa pemberian amnesti tersebut karena sebelumnya di Afrika berlaku politik Apartheid. "Demokrasi tidak masuk ke Afrika Selatan kalau tidak diberikan amnesti ini," jelasnya.

Menurutnya, pemberian amnesti di Afrika Selatan tersebut justru diatur di UUD. Kalau tidak diatur di UUD yang baru, maka tidak bisa mengatur amnesti di undang-undang. Paul menilai bahwa perubahan politik yang menjadi dasar pemberian amnesti di Indonesia tidak dapat disamakan dengan di Afrika Selatan.

Paul juga menjelaskan bahwa terhadap pemberian amnesti terdapat batasan sebagaimana prinsip dari Komisi HAM PBB. "Pelaku dari kejahatan berat berdasarkan hukum internasional tidak boleh mendapat keuntungan sampai pelaku tersebut dituntut di hadapan pengadilan"

Dengan demikian, lanjut Prof Paul, amnesti tidak bisa dilakukan sebelum penuntutan. Menurutnya, dimungkinkan pemberian keringanan hukuman kepada pelaku. "Tapi tidak boleh sebelum penuntutan," tambahnya.

Terkait kesan bahwa KKR menjadi substitusi proses yudisial, pengajar hukum di Universitas Newyork dan Columbia, Newyork tersebut mengingatkan bahwa Indonesia dalam laporan tentang hukum dan transitional justice di masyarakat sebelum dan sesudah konflik di PBB tahun 2004 sudah menjelaskan bahwa KKR tidak bisa menjadi substitusi proses yudisial.

Pendapat tersebut juga dipegang oleh Rudi. "KKR bukan substitusi dari pengadilan HAM, ia bisa bergandengan dengan pengadilan HAM. Jadi hubungannya komplementer," tegasnya.

Sebagai alternatif dari pada pemberian amnesti, Prof Douglas menjelaskan bahwa negara bisa saja mengurangi hukuman terhadap pelaku yang menagkui kesalahannya. "Yang mengaku tetap dihukum, tetapi tidak seberat bila mereka tidak mengakui," tambahnya.

Taufik, selaku kuasa hukum pemohon sendiri menayakan kepada Rudi mengenai keharusan UU KKR Indonesia menyesuaikan dengan praktek-praktek atau hukum internasional yang berlaku. "Ketika praktek-praktek tadi sudah menjadi standar internasional, tentunya bisa jadi customary law. Memang sebaiknya kita mengacu pada aturan-aturan itu," jawab Rudi.

Dalam persidangan tersebut juga dihadirkan saksi Mugiyanto yang merupakan korban penculikan di masa orde baru. Mantan aktifis yang kini menjadi Ketua Ikatan Orang Hilang Indonesia (IKOHI) mengharapkan negara memberikan pertanggungjawaban terhadap para korban kekerasan HAM.

Dalam persidangan tersebut, sebelumnya Prof Douglass juga menjelaskan bahwa restitusi sendiri tidak ada padanan kata yang tepat dalam bahasa Inggris. Namun, Prof Jimly selaku ketua sidang menjelaskan bahwa restitusi memang berasal dari bahasa Belanda mengingat Indonesia mengadopsi hukum Belanda. Dengan demikian, menurut Prof Jimly kata-kata reparasi yang dipakai oleh ahli dalam keterangannya mungkin bisa diartikan restitusi, demikian pula sebaliknya.

Oleh ; Administrator

***

Kode etik jaksa

EFEKTIVITAS KODE ETIK JAKSA

Dalam dunia kejaksaan di Indonesia terdapat lima norma kode etik profesi jaksa, yaitu:
1.
Bersedia untuk menerima kebenaran dari siapapun, menjaga diri, berani, bertanggung jawab dan dapat menjadi teladan di lingkungannya

2. Mengamalkan dan melaksanakan pancasila serta secara aktif dan kreaatif dalam pembangunan hukum untuk mewujudkan masyarakat adil

3. Bersikap adil dalam memberikan pelayanan kepada para pencari keadilan

4. Berbudi luhur serta berwatak mulia, setia, jujur, arif dan bijaksana dalam diri, berkata dan bertingkah laku

5. Mengutamakan kepentingan bangsa dan Negara daripada kepentingan pribadi atau golongan
Dalam usaha memahami maksud yang terkandung dalam kode etik jaksa tidaklah terlalu sulit. Kata-kata yang dirangkaikan tidak rumit sehingga cukup mudah untuk dimengerti.
Karena kode etik ini disusun dengan tujuan agar dapat dijalankan.

Kode etik jaksa serupa dengan kode etik profesi yang lain. Mengandung nilai-nilai luhur dan ideal sebagai pedoman berperilaku dalam satu profesi. Yang apabila nantinya dapat dijalankan sesuai dengan tujuan akan melahirkan jaksa-jaksa yang memang mempunyai kualitas moral yang baik dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga kehidupan peradilan di Negara kita akan mengarah pada keberhasilan.

Sebagai komponen kekuasaan eksekutif di bidang penegak hukum, adalah tepat jika setelah kurun waktu tersebut, kejaksaan kembali merenungkan keberadaan institusinya, sehingga dari perenungan ini, diharapkan dapat muncul kejaksaan yang berparadigma baru yang tercermin dalam sikap, pikiran dan perasaan, sehingga kejaksaan tetap mengenal jati dirinya dalam memenuhi panggilan tugasnya sebagai wakil negara sekaligus wali masyarakat dalam bidang penegakan hukum.

Kejaksaan merupakan salah satu pilar birokrasi hukum tidak terlepas dari tuntutan masyarakat yang berperkara agar lebih menjalankan tugasnya lebih profesional dan memihak kepada kebenaran. Sepanjang yang diingat, belum pernah rasanya kejaksaan di dalam sejarahnya sedemikian merosot citranya seperti saat ini . Sorotan serta kritik-kritik tajam dari masyarakat, yang diarahkan kepadanya khususnya kepada kejaksaan, dalam waktu dekat tampaknya belum akan surut, meskipun mungkin beberapa pembenahan telah dilakukan.

Sepintas lalu, masalah yang menerpa kejaksaan mungkin disebabkan merosotnya profesionalisme di kalangan para jaksa, baik level pimpinan maupun bawahan. Keahlian, rasa tanggung jawab, dan kinerja terpadu yang merupakan ciri-ciri pokok profesionalisme tampaknya mengendur. Sebenarnya, jika pengemban profesi kurang memiliki keahlian, atau tidak mampu menjalin kerja sama dengan pihak-pihak demi kelancaran profesi atau pekerjaan harus dijalin, maka sesungguhnya profesionalisme itu sudah mati, kendatipun yang bersangkutan tetap menyebut dirinya sebagai seorang profesional.

Agar keahlian yang dimiliki seorang jaksa tidak menjadi tumpul, maka kemampuan yang sudah dimilikinya seyogianya harus selalu diasah, melalui proses pembelajaran ini hendaknya ditafsirkan secara luas, di mana seorang jaksa dapat belajar melalui pendidikan-pendidikan formal atau informal, maupun pada pengalaman-pengalaman sendiri. Karena hukum yang menjadi lahan pekerjaan jaksa merupakan sistem yang rasional, maka keahlian yang dimiliki olehnya melalui pembelajaran tersebut, harus bersifat rasional pula. Sikap ilmiah melakukan pekerjaan ditandai dengan kesediaan memperguanakan metodologi modern yang demikian, diharapkan dapat mengurangi sejauh mungkin sifat subjektif seorang jaksa terhadap perkara-perkara yang harus ditanganinya.

Kemampuan analisis yang dikembangkan bukan lagi semata-mata didasari pendekatan-pendekatan yang serba legalitas, positivis dan mekanistis. Sebab setiap perkara sekalipun tampak serupa, bagaimanapun tetap memiliki keunikan tersendiri. Sebagai penuntut, seorang jaksa dituntut untuk mampu merekosntruksi dalam pikiran peristiwa pidana yang ditanganinya. Tanpa hal itu, penanganan perkara tidaklah total, sehingga sisi-sisi yang justru penting bisa jadi malah terlewatkan. Memang bukan persoalan mudah untuk memahami sesuatu, peristiwa yang kita sendiri tidak hadir pada kejadian yang bersangkutan, apalagi jika berkas yang sampai sudah melalui tangan kedua (dengan hanya membaca berita acara pemeriksaan atau BAP dari kepolisian). Jika pada tingkat analisis telah menderita keterbatasan-keterbatasan, maka sebagai konsekuensi logisnya kebenaran yang hendak kita tegakkan tidaklah dapat diraih secara bulat. Tidak adanya faktor tunggal, menyebabkan setiap perkara memiliki keunikan sendiri.

Di dalam mengemban profesi, usaha-usaha yang dilakukan oleh jaksa bukan hanya untuk memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam ketentuan hukum semata, melainkan apa yang sesungguhnya benar-benar terjadi dan dirasakan langsung oleh masyarakat juga didengar dan diperjuangkan. Inilah yang dinamakan pendekatan sosioligis. Memang tidak mudah bagi jaksa untuk menangkap suara yang sejati yang muncul dari sanubari anggota masyarakat secara mayoritas. Di samping masyarakat Indonesia yang heterogen, kondisi yang melingkupinya pun sedang dalam keadaan yang tidak sepenuhnya normal.

Hal yang kerap memprihatinkan ialah rasa keadilan masyarakat atau keadilan itu sendiri, tidak dapat sepenuhnya dijangkau perangakat hukum yang ada. Pada ujungnya, keadilan itu bergantung pada aparat penegak hukum itu sendiri, bagaimana mewujudkannya secara ideal. Di sinalah maka penegak hukum itu menjadi demikian erat hubungannya dengan perilaku, khususnya aparat penegak hukum, antara lain termasuk jaksa. Hukum bukan sesuatu yang bersifat mekanistis, yang dapat berjalan sendiri. Hukum bergantung pada sikap tindak penegak hukum. Melalui aktivasi penegak hukum tersebut, hukum tertulis menjadi hidup dan memenuhi tujuan-tujuan yang dikandungnya.

Profesionalisme seorang jaksa sungguh sangat penting dan mendasar, sebab sebagaimana disebutkan di atas, bahwa antara lain di tangannyalah hukum menjadi hidup, dan karena kekuatan atau otoritas, yang dimilikinya inilah sampai-sampai muncul pertanyaan bahwa,”It doesn’t matter what the law says. What matters is what the guy behind the desk interprets the law to say” . Mungkin bagi orang yang berpikiran normatif, ungkapan ini agak berlebihan. Akan tetapi, secara sosiologis hal ini tidak dapat dimungkiri kebenarannya, bahkan beberapa pakar sosiologi hukum acap menyebutkan bahwa hukum itu tidak lain adalah perilaku pejabat-pejabat hukum.

Oleh Administrator